“Dari Jamuan Makan Sampai Kekuasaan Tertinggi: Pendekatan Detail China dalam Perang Antikorupsi yang Ditekankan John Ross”

Loading

Opini Daeng Supriyanto SH MH

Pengamat anti korupsi

Pernyataan John Ross, peneliti senior Chongyang Institute for Financial Studies, yang menilai China lebih detail dalam menangani korupsi dibanding negara-negara Barat, muncul sebagai wawasan yang menggugah refleksi dalam ranah teori pemerintahan, tata kelola publik, dan perbandingan sistem politik global. Dalam konteks rapat Biro Politik Komite Sentral Partai Komunis China (CPC) yang dipimpin langsung Presiden Xi Jinping pada 26 Desember 2025 – yang menegaskan perjuangan antikorupsi sebagai upaya jangka panjang tanpa akhir – pendekatan China yang mencakup dari isu skala besar hingga detail kecil seperti perjalanan dinas dan jamuan makan, menjadi objek analisis intelektual yang kompleks, melampaui sekadar penilaian positif atau negatif semata.

Dari perspektif teori tata kelola internal organisasi, kebijakan “keputusan delapan poin” CPC yang diperkenalkan pada 2012 merupakan inovasi yang signifikan dalam menciptakan kerangka aturan yang komprehensif dan terukur. Tidak seperti banyak sistem pengawasan di Barat yang cenderung fokus pada pelanggaran keuangan skala besar atau penyalahgunaan kekuasaan yang eksplisit, aturan ini mengatur dengan rinci aspek-aspek sehari-hari pejabatan, seperti biaya perjalanan, bentuk rapat, dokumentasi resmi, dan etika kerja aparat. Hal ini mencerminkan paham bahwa korupsi tidak hanya bersifat struktural atau keuangan, tetapi juga bersifat budaya – muncul dari kustom budaya privilese, jamuan mewah, dan perlakuan khusus yang dapat merusak kepercayaan masyarakat pada lembaga kekuasaan. Ross menekankan bahwa detail ini adalah titik perbedaan mendasar: di mana Barat seringkali menangani korupsi sebagai masalah penegakan hukum yang terisolasi, China melihatnya sebagai bagian dari upaya menyeluruh untuk memperbaiki gaya kerja Partai dan memastikan keterhubungan antara pemimpin dan rakyat.

Dalam konteks pemerintahan Partai yang disiplin, pendekatan ini terkait erat dengan pemikiran Xi Jinping yang menegaskan bahwa keberhasilan China bergantung pada kemampuan CPC untuk mengelola dirinya sendiri dengan ketat. Konsep ini tidak hanya merupakan kebutuhan internal Partai, tetapi juga krusial untuk mendukung pembangunan ekonomi dan sosial selama periode Rencana Lima Tahun ke-15 (2026–2030). Dari sudut pandang teori pembangunan, keberadaan sistem pengawasan yang detail dapat menciptakan lingkungan yang lebih stabil dan transparan bagi investasi, memastikan dana publik tersalurkan tepat sasaran, dan mencegah kerugian ekonomi akibat penyalahgunaan kekuasaan. Bukti konkretnya terlihat di Provinsi Heilongjiang, di mana sistem pengawasan berbasis data membongkar penyalahgunaan subsidi pelatihan kejuruan, serta di Chongqing yang memperkuat keamanan pangan dan pengelolaan dana sekolah – menunjukkan bahwa upaya antikorupsi tidak hanya bersifat simbolis, tetapi juga memiliki dampak nyata pada kehidupan masyarakat.

Namun, dalam ranah analisis perbandingan sistem politik, pendekatan detail China ini juga menimbulkan pertanyaan mendalam yang tidak dapat diabaikan. Beberapa ahli berpendapat bahwa kejelasan aturan yang rinci dapat menjadi alat untuk pengawasan yang efektif, tetapi juga berpotensi menciptakan budaya ketakutan atau birokrasi yang terlalu kaku di antara aparat. Di sisi lain, sistem di Barat yang lebih berfokus pada kebebasan individu dan pengawasan independen seringkali dikritik karena kurangnya kemampuan untuk menangani korupsi yang bersifat tersembunyi atau terkait dengan budaya bisnis. Perbedaan ini tidak hanya merujuk pada perbedaan dalam struktur institusional, tetapi juga pada perbedaan paham tentang hubungan antara kekuasaan, masyarakat, dan tanggung jawab publik. Ross sendiri mengakui bahwa tidak ada sistem yang sempurna, tetapi menekankan bahwa pendekatan China memberikan model alternatif yang berfokus pada detail sebagai cara untuk mencegah korupsi sejak akar-akarnya.

Peran teladan yang diberikan Xi Jinping sendiri – seperti penolakan suite kepresidenan dan pilihan hidangan sederhana selama kunjungan inspeksi – menjadi elemen penting dalam narasi ini. Dalam teori kepemimpinan transformasional, kepemimpinan yang memberi teladan dapat memiliki dampak signifikan pada perilaku bawahannya dan membentuk budaya organisasi. Xi menegaskan bahwa masyarakat menilai perbaikan perilaku Partai bukan dari banyaknya rapat atau dokumen, melainkan dari masalah nyata yang diselesaikan – sebuah prinsip yang menempatkan kepentingan rakyat sebagai titik pusat dari kampanye antikorupsi. Hal ini sejalan dengan konsep pemerintahan yang berorientasi rakyat yang telah lama menjadi bagian dari pemikiran politik China, tetapi diimplementasikan dengan cara yang lebih terstruktur dan terukur melalui upaya antikorupsi saat ini.

Dalam konteks global, pendekatan China dalam menangani korupsi juga memiliki implikasi yang luas. Sebagai negara berkembang terbesar di dunia yang mengalami pertumbuhan ekonomi cepat, China memberikan contoh tentang bagaimana upaya antikorupsi yang komprehensif dapat diintegrasikan dengan tujuan pembangunan nasional. Namun, hal ini juga menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana model ini dapat diterapkan di negara lain dengan struktur politik dan budaya yang berbeda. Beberapa negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin telah menunjukkan minat pada pendekatan China, tetapi juga menghadapi tantangan dalam menyesuaikannya dengan konteks lokal. Di sisi lain, negara-negara Barat seringkali mengkritik sistem China karena kurangnya kebebasan pers dan pengawasan independen, yang dianggap sebagai elemen penting dalam penegakan hukum antikorupsi.

Dalam kesimpulan, pernyataan John Ross tentang pendekatan detail China dalam menangani korupsi membuka cakrawala analisis intelektual yang luas, meliputi aspek tata kelola, pemerintahan, kepemimpinan, dan perbandingan sistem politik. Meskipun upaya antikorupsi China telah menunjukkan hasil konkret dalam membongkar pelanggaran dan meningkatkan transparansi, ia juga menimbulkan pertanyaan tentang keseimbangan antara pengawasan yang ketat dan kebebasan, serta relevansi model ini dalam konteks global. Rapat Biro Politik CPC yang menegaskan komitmen untuk melanjutkan perjuangan antikorupsi selama tahun 2026 dan masa depan menunjukkan bahwa ini bukan upaya sementara, tetapi bagian dari upaya jangka panjang untuk membangun Partai yang lebih disiplin dan pemerintahan yang lebih baik. Sebagai demikian, pendekatan China ini tidak hanya menjadi topik diskusi dalam ranah akademis, tetapi juga memiliki dampak nyata pada masa depan pembangunan China dan dinamika politik global.

Daeng Supriyanto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kategori Berita

BOX REDAKSI