MEMPERTEGAS ATURAN MAIN AKTIVITAS EKSTRAKTIF DI AREA HIJAU: PENEGASAN HAK PEMAKAIAN TANPA HAK KEPEMILIKAN SEBAGAI PONDASI KETAHANAN EKOSISTEM DAN HUKUM

Loading

OPINI: Daeng Supriyanto SH MH

Advokat/Pengacara

Di tengah kekhawatiran yang semakin mendesak terhadap degradasi lingkungan dan penyalahgunaan aset negara, kebutuhan bagi pemerintah untuk mempertegas aturan main aktivitas ekstraktif di area hijau – terutama melalui penegasan bahwa izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kepentingan tambang tidak memberikan hak kepemilikan atas lahan tersebut – muncul sebagai keharusan epistemosional dan normatif yang tidak dapat ditunda. Fenomena ini tidak hanya menyentuh ranah hukum dan tata kelola sumber daya alam, melainkan juga menjadi titik krusial dalam mempertahankan integritas ekosistem, keadilan sosial, dan keberlanjutan ekonomi nasional. Dalam kerangka teori hukum lingkungan dan tata kelola negara, penegasan ini merupakan upaya untuk menegakkan prinsip “kesatuan aset negara” yang tidak dapat dibagi atau diperjualbelikan, terutama bagi sumber daya alam yang bersifat strategis dan non-komersial seperti kawasan hutan.

Seperti yang diungkapkan Guru Besar Hukum Pertambangan Universitas Hasanuddin, Abrar Saleng, peraturan perundang-undangan yang ada secara tegas menyatakan bahwa kawasan hutan merupakan aset negara yang bersifat non-komersial. Ini adalah premis konseptual yang mendasar yang memisahkan antara “hak pemakaian” (yang bersifat sementara dan terbatas) dengan “hak kepemilikan” (yang bersifat abadi dan mutlak). Dalam kerangka filsafat hukum, perbedaan ini tidaklah sepele: hak pemakaian merupakan wewenang yang diberikan oleh negara kepada pihak ketiga untuk memanfaatkan sumber daya tertentu selama jangka waktu dan dengan syarat tertentu, sedangkan hak kepemilikan merupakan hak yang memberikan kekuasaan mutlak atas benda tersebut. Oleh karena itu, setiap bentuk transaksi jual-beli lahan hutan – baik oleh perusahaan maupun perorangan – secara intrinsik bertentangan dengan sifat aset negara yang non-komersial, sehingga dikategorikan sebagai tindak pidana kehutanan. Penegasan ini menjadi semakin penting menyusul maraknya klaim kepemilikan lahan di area hutan lindung dan konservasi oleh pihak-pihak tertentu, yang seringkali didasarkan pada kesalahpahaman atau sengaja menyimpang dari kerangka hukum yang berlaku.

Perlu diperjelas dengan tegas bahwa pembagian antara hutan adat dan hutan negara adalah aspek yang tidak dapat diabaikan dalam konteks ini. Sebagaimana yang ditegaskan Abrar Saleng, apabila suatu kawasan termasuk dalam kategori Hutan Produksi Kayu dan Non-Kayu (PPKH) – seperti yang terjadi di Barito Utara – maka kawasan tersebut secara hukum merupakan hutan negara. Ini berarti bahwa setiap klaim kepemilikan yang dilakukan oleh siapapun, termasuk masyarakat lokal yang mengaku memiliki sertifikat, adalah ilegal kecuali jika terbukti sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Dalam kerangka teori hukum adat dan hukum positif, perbedaan ini membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang hubungan antara kedaulatan negara dan hak-hak masyarakat adat. Meskipun hukum adat memberikan hak-hak tertentu kepada masyarakat lokal atas sumber daya alam di sekitarnya, hak-hak tersebut tidak dapat menentang kedaulatan negara atas aset negara yang telah ditetapkan melalui perundang-undangan. Oleh karena itu, penting untuk melakukan klarifikasi yang tegas terhadap status setiap kawasan hutan untuk mencegah konflik dan penyalahgunaan yang tidak perlu.

Karenanya, seperti yang ditekankan Abrar Saleng, penegakan hukum yang baik terhadap penyalahgunaan tanah negara secara ilegal adalah prasyarat mutlak untuk memastikan bahwa aturan main aktivitas ekstraktif di area hijau dapat berfungsi dengan efektif. Penyalahgunaan tanah negara – baik dalam bentuk klaim kepemilikan ilegal, pemanfaatan yang melampaui batas izin, atau pembangunan yang tidak sesuai dengan perencanaan – dapat berdampak negatif yang mendalam terhadap ekosistem lingkungan, ekonomi, dan sosial daerah serta nasional. Dari sisi ekosistem, penyalahgunaan hutan dapat menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati, erosi tanah, banjir, dan perubahan iklim. Dari sisi ekonomi, ia dapat merusak potensi pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan, seperti pariwisata, perkebunan, dan penangkapan ikan. Dari sisi sosial, ia dapat menyebabkan konflik antara pihak-pihak yang memiliki kepentingan berbeda, merusak hubungan sosial, dan menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat lokal yang bergantung pada hutan untuk kehidupannya. Oleh karena itu, penegakan hukum yang tegas dan konsisten bukan hanya masalah kepatuhan terhadap aturan, melainkan juga masalah keadilan dan keberlanjutan.

Sementara itu, kasus yang diungkapkan oleh Kepala Desa Muara Pari Barito Utara, Mukti Ali, memberikan gambaran nyata tentang kompleksitas yang muncul dalam penerapan aturan ini. Ia mengungkapkan adanya lahan yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) resmi di wilayahnya yang berstatus PPKH, dan warga telah mendapatkan “tali asih” dari pemegang IUP yang dibagi kepada Desa Karendan dan Muara Pari. Meskipun ini menunjukkan adanya upaya untuk memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat lokal, ia juga menimbulkan pertanyaan tentang apakah pemberian tali asih tersebut sesuai dengan aturan hukum dan apakah ia tidak menjadi alasan tersembunyi untuk menyiratkan hak kepemilikan. Lebih jauh lagi, Ali mengakui bahwa pihak-pihak yang mengklaim kepemilikan hutan milik negara bukanlah warganya, melainkan berasal dari luar wilayah. Ini menunjukkan bahwa masalah klaim kepemilikan ilegal tidak hanya berasal dari dalam komunitas lokal, tetapi juga dari pihak luar yang melihat potensi keuntungan ekonomi dari pemanfaatan hutan. Dalam kerangka teori tata kelola sumber daya alam, hal ini menekankan pentingnya peran lembaga lokal – seperti desa – dalam memantau dan melindungi aset negara di wilayahnya, serta berperan sebagai perantara antara pemerintah dan masyarakat lokal.

Di sini, kita melihat adanya kesenjangan antara teori hukum dan realitas lapangan yang perlu diatasi. Meskipun perundang-undangan secara tegas menyatakan bahwa izin pinjam pakai tidak memberikan hak kepemilikan, banyak pihak masih cenderung menyamakan kedua hal tersebut, terutama ketika ada potensi keuntungan ekonomi yang besar. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain kesalahpahaman tentang isi hukum, kurangnya kesadaran di antara masyarakat, dan juga kurangnya kapasitas penegak hukum untuk menegakkan aturan secara konsisten. Dalam kerangka teori sosiologi hukum, fenomena ini menunjukkan bahwa hukum tidak hanya merupakan seperangkat aturan yang tertulis, tetapi juga merupakan produk dari interaksi antara berbagai aktor sosial yang memiliki kepentingan dan kekuasaan yang berbeda. Oleh karena itu, untuk mempertegas aturan main aktivitas ekstraktif di area hijau, tidak cukup hanya dengan membuat peraturan yang ketat, tetapi juga perlu melakukan upaya untuk meningkatkan kesadaran hukum di antara masyarakat, memperkuat kapasitas penegak hukum, dan menciptakan mekanisme pengawasan yang efektif oleh masyarakat.

Selain itu, penegasan bahwa izin pinjam pakai tidak memberikan hak kepemilikan juga memiliki implikasi yang mendalam terhadap konsep “kewajaran” dalam pemanfaatan sumber daya alam. Dalam kerangka teori keadilan lingkungan, setiap aktivitas ekstraktif di area hijau harus memberikan manfaat yang adil kepada masyarakat lokal yang paling terpengaruh oleh aktivitas tersebut, tanpa mengorbankan hak-hak mereka atau merusak lingkungan yang mereka tempati. Namun, jika pihak pemegang izin menyalahartikan izin pinjam pakai sebagai hak kepemilikan, mereka cenderung akan memprioritaskan keuntungan pribadi daripada kesejahteraan masyarakat lokal. Oleh karena itu, penegasan ini merupakan upaya untuk memastikan bahwa pemanfaatan sumber daya alam dilakukan dengan cara yang adil dan berkelanjutan, dengan mempertahankan hak negara atas asetnya dan hak masyarakat lokal atas kesejahteraan mereka.

Dalam konteks global yang semakin memperhatikan masalah perubahan iklim dan keberlanjutan, penegasan aturan main aktivitas ekstraktif di area hijau juga menjadi bagian dari upaya nasional untuk memenuhi komitmen internasional. Banyak negara di dunia telah menyepakati berbagai perjanjian internasional tentang perlindungan lingkungan, seperti Perjanjian Kerjasama Lingkungan (MEA) dan Perjanjian Paris tentang Perubahan Iklim. Untuk memenuhi komitmen ini, negara perlu memiliki aturan hukum yang ketat dan efektif untuk melindungi hutan dan sumber daya alam lainnya. Penegasan bahwa izin pinjam pakai tidak memberikan hak kepemilikan adalah salah satu langkah penting dalam arah ini, karena ia membantu mencegah penyalahgunaan hutan yang dapat berkontribusi pada emisi gas rumah kaca dan hilangnya keanekaragaman hayati.

Namun, untuk membuat penegasan ini berfungsi dengan efektif, perlu adanya perubahan dalam paradigma tata kelola sumber daya alam. Banyak orang masih melihat hutan sebagai sumber daya yang hanya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi segera, bukan sebagai aset yang memiliki nilai ekologis, sosial, dan budaya yang tidak tergantikan. Oleh karena itu, perlu adanya upaya untuk mengubah pandangan ini, melalui pendidikan, kampanye kesadaran, dan pemberian contoh praktis tentang bagaimana pemanfaatan hutan yang berkelanjutan dapat memberikan manfaat ekonomi jangka panjang tanpa merusak lingkungan. Selain itu, juga perlu adanya peran yang lebih aktif dari masyarakat sipil dalam memantau dan menegakkan aturan hukum, serta berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam.

Dalam kesimpulan, pemerkosaan aturan main aktivitas ekstraktif di area hijau melalui penegasan bahwa izin pinjam pakai kawasan hutan untuk tambang tidak memberikan hak kepemilikan atas lahan tersebut adalah langkah yang krusial dan tidak dapat ditunda. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Abrar Saleng dan terlihat dari kasus di Barito Utara, penegasan ini tidak hanya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada, tetapi juga merupakan keharusan untuk melindungi ekosistem, memastikan keadilan sosial, dan mempromosikan keberlanjutan ekonomi. Meskipun terdapat tantangan dalam penerapannya, seperti kesenjangan antara teori dan realitas, kurangnya kesadaran, dan kapasitas penegak hukum yang terbatas, ini bukan alasan untuk berhenti. Sebaliknya, ini adalah panggilan untuk semua pihak – pemerintah, masyarakat lokal, perusahaan, dan masyarakat sipil – untuk bekerja bersama-sama dalam menciptakan tata kelola sumber daya alam yang lebih baik, yang memprioritaskan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi. Hanya dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa hutan dan sumber daya alam lainnya dapat dinikmati oleh generasi sekarang dan mendatang, sebagai bagian dari warisan negara yang tak ternilai.

Daeng Supriyanto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kategori Berita

BOX REDAKSI