![]()

OPINI: Daeng Supriyanto SH MH CMS.P
ADVOKAT/PENGACARA
Di tengah kerumitan arsitektur tata kelola ruang yang semakin kompleks di abad ke-21, pemilihan Ketua Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) tidak lagi sekadar proses internal kemasyarakatan yang bersifat informel atau hanya berlandaskan hubungan sosial tradisional. Sebaliknya, fenomena ini muncul sebagai titik krusial yang menghubungkan antara kebutuhan kolektif warga pada tingkat mikro dengan rencana jangka panjang perencanaan wilayah dan kota yang dirancang pada tingkat makro. Dalam kerangka teori perencanaan spasial, RT dan RW berfungsi sebagai “unit analisis dasar” yang tidak hanya menjadi saluran implementasi kebijakan publik, tetapi juga sebagai agen pengefektifan keberlanjutan ruang, karena mereka memahami konteks lokal dengan kedalaman yang tidak mungkin dicapai oleh para perencana profesional yang bekerja dari gedung perkantoran.
Perlu dipahami bahwa perencanaan wilayah dan kota, dalam kerangka konseptual yang dipopulerkan oleh para ahli seperti Jane Jacobs dan Kevin Lynch, tidaklah sekadar tentang penentuan zona pemukiman, perdagangan, atau industri. Lebih jauh dari itu, ia adalah upaya untuk menciptakan “ruang yang berdaya” – ruang yang mampu menumbuhkan interaksi sosial, memfasilitasi akses ke layanan dasar, dan menciptakan identitas kolektif yang kuat. Dalam konteks ini, Ketua RT/RW berperan sebagai “perantara spasial” yang menghubungkan antara visinya yang holistik dari para perencana dengan realitas nyata yang dihadapi oleh warga sehari-hari. Pemilihan mereka yang cermat dan berdasarkan prinsip-prinsip yang selaras dengan tujuan perencanaan wilayah, oleh karena itu, bukan hanya kebutuhan demokratis, melainkan juga imperatif epistemosional untuk memastikan bahwa rencana yang dibuat tidak menjadi sekadar dokumen kertas yang terlepas dari kenyataan.
Salah satu aspek paling mendasar yang menghubungkan pemilihan Ketua RT/RW dengan perencanaan wilayah adalah masalah “kewenangan terdesentralisasi”. Dalam kerangka otonomi daerah yang telah diterapkan di banyak negara, termasuk Indonesia, kewenangan untuk mengelola urusan lokal diberikan kepada tingkat RT/RW sebagai unit terkecil tata kelola. Namun, keberhasilan implementasi kewenangan ini sangat tergantung pada kualitas pemimpin yang dipilih. Seorang Ketua RT/RW yang memiliki pemahaman tentang prinsip-prinsip perencanaan lingkungan, seperti pengelolaan limbah, penataan ruang hijau, atau aksesibilitas transportasi non-motoris, akan mampu mengubah kebijakan yang abstrak menjadi tindakan konkret yang memberikan manfaat langsung kepada warga. Sebaliknya, seorang pemimpin yang tidak memiliki wawasan ini cenderung akan melihat perencanaan sebagai beban, bukan kesempatan untuk meningkatkan kualitas hidup di wilayahnya.
Selain itu, pemilihan Ketua RT/RW juga memiliki implikasi yang mendalam terhadap “keberlanjutan spasial”. Dalam era di mana perubahan iklim dan degradasi lingkungan menjadi ancaman serius, perencanaan wilayah yang berkelanjutan menjadi sangat penting. Seorang Ketua RT/RW yang terpelajar tentang konsep ini akan mampu memimpin warga dalam melakukan inisiatif seperti penanaman pohon, pembuatan taman komunal, atau pengelolaan air hujan yang berkelanjutan. Ini tidak hanya membantu mencapai tujuan perencanaan kota yang lebih hijau dan berkelanjutan, tetapi juga menciptakan rasa tanggung jawab kolektif di antara warga terhadap lingkungan sekitarnya. Dalam hal ini, pemilihan pemimpin yang memiliki wawasan keberlanjutan adalah investasi jangka panjang untuk masa depan wilayah dan kota.
Tetapi, kita juga tidak boleh mengabaikan tantangan yang muncul dalam menghubungkan pemilihan Ketua RT/RW dengan perencanaan wilayah. Salah satu tantangan terbesar adalah “kesenjangan pengetahuan” antara para perencana profesional dan calon Ketua RT/RW. Banyak calon pemimpin lokal tidak memiliki pendidikan formal dalam bidang perencanaan, sehingga mereka sulit memahami istilah-istilah teknis dan konsep-konsep yang digunakan dalam rencana wilayah. Hal ini menyebabkan komunikasi yang tidak efektif antara tingkat pusat dan lokal, sehingga rencana yang dibuat sulit diimplementasikan. Oleh karena itu, perlu adanya upaya yang terstruktur untuk meningkatkan kapasitas para calon Ketua RT/RW dalam bidang perencanaan wilayah, melalui pelatihan, bimbingan, atau pendampingan oleh para ahli.
Masalah lain yang perlu diperhatikan adalah “faktor politik lokal”. Dalam banyak kasus, pemilihan Ketua RT/RW dipengaruhi oleh kepentingan kelompok, hubungan keluarga, atau aliran politik yang lebih luas, bukan oleh kualitas calon tersebut dalam bidang perencanaan. Hal ini dapat menyebabkan pemilihan pemimpin yang tidak sesuai dengan kebutuhan perencanaan wilayah, sehingga menghambat kemajuan dan perkembangan daerah. Untuk mengatasi masalah ini, perlu adanya peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam proses pemilihan, serta peningkatan kesadaran di antara warga tentang pentingnya memilih pemimpin yang memiliki kemampuan dan wawasan dalam bidang perencanaan.
Dari sudut pandang teoritis, hubungan antara pemilihan Ketua RT/RW dan perencanaan wilayah dapat dilihat melalui lensa “teori kelembagaan”. Menurut teori ini, kelembagaan – termasuk struktur tata kelola lokal dan proses pemilihan pemimpin – memainkan peran penting dalam menentukan keberhasilan perencanaan dan pengembangan. Sebuah sistem pemilihan yang baik akan menghasilkan pemimpin yang mampu membangun kepercayaan di antara warga, memfasilitasi partisipasi publik dalam proses perencanaan, dan menciptakan kerjasama antara berbagai pihak. Ini, pada gilirannya, akan menciptakan kondisi yang kondusif untuk implementasi rencana wilayah yang efektif dan berkelanjutan.
Selain itu, pemilihan Ketua RT/RW juga berkaitan dengan konsep “partisipasi publik” dalam perencanaan. Menurut prinsip-prinsip perencanaan yang demokratis, warga harus memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam menentukan rencana masa depan daerah mereka. Ketua RT/RW berperan sebagai perwakilan warga dalam proses ini, sehingga pemilihan mereka yang mewakili aspirasi dan kebutuhan warga adalah syarat penting untuk memastikan bahwa partisipasi publik tidak menjadi sekadar simbolisme. Seorang Ketua RT/RW yang dipilih melalui proses yang demokratis dan transparan akan lebih cenderung untuk mendengarkan aspirasi warga dan memasukkannya ke dalam rencana perencanaan wilayah.
Dalam konteks perkembangan kota yang cepat, terutama di daerah perkotaan besar seperti Jakarta, Surabaya, atau Medan, peran Ketua RT/RW menjadi semakin penting. Pertumbuhan penduduk yang pesat, pembangunan perumahan yang tidak teratur, dan masalah-masalah sosial seperti kemiskinan dan ketidakseimbangan pendapatan, menciptakan tantangan yang kompleks bagi perencanaan wilayah. Dalam situasi ini, Ketua RT/RW berperan sebagai “pengawas lokal” yang mampu mendeteksi masalah-masalah yang muncul sejak dini dan mengambil tindakan pencegahan sebelum masalah itu menjadi lebih parah. Mereka juga mampu memfasilitasi koordinasi antara berbagai lembaga pemerintah dan masyarakat sipil untuk menangani masalah-masalah ini secara bersama-sama.
Namun, untuk memaksimalkan peran Ketua RT/RW dalam perencanaan wilayah, perlu adanya perubahan dalam pandangan dan pendekatan para pembuat kebijakan. Banyak orang masih melihat RT/RW sebagai unit yang hanya bertugas menangani urusan sosial yang kecil, bukan sebagai bagian integral dari sistem perencanaan wilayah yang lebih luas. Oleh karena itu, perlu adanya upaya untuk memasukkan RT/RW ke dalam kerangka perencanaan wilayah yang formal, dengan memberikan mereka peran dan tanggung jawab yang jelas dalam proses perencanaan, implementasi, dan pemantauan rencana wilayah.
Selain itu, juga perlu adanya peningkatan dukungan dari pemerintah terhadap RT/RW, baik dalam bentuk keuangan, tenaga kerja, maupun pengetahuan. Banyak RT/RW menghadapi keterbatasan sumber daya yang membuat mereka sulit melaksanakan tugas-tugasnya, termasuk tugas-tugas yang terkait dengan perencanaan wilayah. Dengan memberikan dukungan yang memadai, pemerintah dapat membantu RT/RW untuk lebih efektif dalam melaksanakan peran mereka sebagai agen perubahan di tingkat lokal.
Dalam kesimpulan, pemilihan Ketua RT/RW adalah proses yang memiliki signifikansi yang jauh melampaui cakupan kebijakan lokal semata. Dalam perspektif perencanaan wilayah dan kota, ia adalah titik temu antara kebutuhan mikro warga dan tujuan makro kemajuan daerah. Seorang Ketua RT/RW yang berkualitas, yang memiliki pemahaman tentang prinsip-prinsip perencanaan, kemampuan untuk berkomunikasi efektif, dan komitmen terhadap keberlanjutan, akan mampu menjadi katalisator untuk perubahan positif di wilayahnya. Sebaliknya, pemilihan pemimpin yang tidak sesuai akan menghambat kemajuan dan membuat rencana perencanaan wilayah menjadi tidak berdaya. Oleh karena itu, kita semua memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa proses pemilihan Ketua RT/RW dilakukan dengan cara yang demokratis, transparan, dan berdasarkan prinsip-prinsip yang selaras dengan tujuan perencanaan wilayah yang berkelanjutan. Hanya dengan demikian, kita dapat menciptakan kota dan wilayah yang lebih baik, yang memenuhi kebutuhan semua warga dan mampu menghadapi tantangan masa depan.




