![]()

Opini: Daeng Supriyanto SH MH
Jurnalis senior
Ketika Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru mengeluarkan imbauan untuk menyambut malam Tahun Baru 2026 dengan penuh empati dan simpati pascabencana, kita menyaksikan munculnya sebuah narasi etis yang tidak hanya menantang kebiasaan masyarakat, tetapi juga mengajak kita untuk mendalamkan pemahaman tentang apa artinya merayakan masa depan dalam konteks penderitaan bersama. Ini adalah contoh dari bagaimana kepemimpinan dapat berperan sebagai agen transformasi norma sosial—menyajikan kerangka pemikiran yang memposisikan rasa perhatian sesama sebagai fondasi dari setiap perayaan yang bermakna. Dalam kerangka filsafat sosial, imbauan ini dapat dilihat sebagai upaya untuk menciptakan apa yang disebut “ruang publik etis”—tempat di mana individu-individu menyadari bahwa kebahagiaan pribadi tidak dapat dipisahkan dari nasib kolektif, sehingga menjadikan Sumatera Selatan bukan hanya wilayah administrasi, tetapi jagat spiritual yang terikat oleh ikatan kemanusiaan.
Pertama-tama, kita harus memahami bahwa perayaan Tahun Baru itu sendiri adalah konstruksi budaya yang sarat makna—simbol dari pemulihan, harapan, dan pemisahan antara masa lalu yang lewat dan masa depan yang akan datang. Namun, dalam konteks pascabencana, makna ini mengalami transformasi epistemologis: tidak lagi hanya tentang kemajuan pribadi atau keberhasilan individu, tetapi tentang kemampuan masyarakat untuk berdiri bersama setelah mengalami kerusakan. Ketika Deru menyatakan bahwa “jika kita berhura-hura, tentu sama saja kita tidak bersimpati, tidak empati dengan saudara dan keluarga kita yang tertimpa musibah,” ia sedang membongkar struktur simbolis perayaan yang telah ada—menunjukkan bahwa kemeriahan yang tidak mempertimbangkan penderitaan sesama hanyalah ilusi yang merendahkan martabat mereka yang menderita. Ini adalah pandangan yang sejalan dengan teori kritis yang menekankan pentingnya kesadaran konteks dalam setiap tindakan sosial: bahwa tidak ada tindakan yang netral, dan setiap perayaan membawa dengan dirinya muatan nilai yang memengaruhi hubungan antarindividu.
Selanjutnya, imbauan untuk menyambut Tahun Baru dengan rasa syukur dan doa menawarkan alternatif terhadap budaya konsumerisme yang seringkali mendominasi perayaan modern. Dalam era di mana kemeriahan seringkali diukur dengan jumlah barang yang dibeli atau acara yang diadakan, Deru menyajikan konsep perayaan yang lebih sederhana tetapi lebih mendalam—berbasis pada hubungan dengan Tuhan dan sesama manusia, bukan pada kepuasan material. Ini adalah upaya untuk memulihkan makna spiritual dari perayaan, yang telah terkubur di bawah tumpukan barang-barang tidak perlu. Dari perspektif sosiologi agama, hal ini dapat dilihat sebagai upaya untuk memperkuat peran agama sebagai pengatur norma sosial—menyediakan kerangka etis yang mengarahkan perilaku masyarakat ke arah yang lebih bermakna. Doa dan syukur, dalam konteks ini, bukanlah sekadar tindakan pribadi, tetapi tindakan kolektif yang memperkuat ikatan sosial: ketika masyarakat berdoa bersama, mereka membangun rasa kebersamaan yang melampaui batasan suku, agama, atau status sosial.
Kita juga harus mempertimbangkan dimensi politik dari imbauan ini. Meskipun Deru tidak membuat aturan yang wajib dipatuhi secara hukum, imbauan ini memiliki kekuatan normatif yang besar—didasarkan pada kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinannya dan kesadaran akan realitas pascabencana. Ini adalah contoh dari “kekuatan lunak” yang digunakan untuk membentuk perilaku masyarakat—lebih efektif daripada aturan hukum dalam beberapa kasus, karena ia berasal dari kesadaran diri masyarakat sendiri. Dalam teori kepemimpinan transformasional, hal ini adalah ciri khas dari pemimpin yang mampu menginspirasi orang lain untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi—menyajikan visi yang lebih baik dan membujuk masyarakat untuk bergabung dalam upaya untuk mewujudkannya. Imbauan Deru tidak hanya tentang larangan berhura-hura, tetapi tentang penawaran harapan: bahwa dengan menyambut Tahun Baru dengan hati yang penuh empati, masyarakat Sumsel dapat membangun masa depan yang lebih kuat dan lebih adil.
Selain itu, imbauan ini juga menimbulkan pertanyaan tentang tanggung jawab masyarakat terhadap mereka yang terkena dampak bencana. Dalam konteks etika, kita dihadapkan pada apa yang disebut “prinsip perhatian”—kewajiban untuk mencegah penderitaan atau membantu mereka yang menderita. Ketika Deru mengimbau masyarakat untuk tidak merayakan dengan berlebihan, ia sedang mengubah prinsip ini menjadi tindakan nyata: dengan menyederhanakan perayaan, masyarakat dapat mengalokasikan sumber daya atau hanya memberikan perhatian kepada mereka yang membutuhkannya. Ini adalah contoh dari bagaimana etika dapat diubah menjadi praktik sosial—menunjukkan bahwa rasa empati tidak cukup hanya sebagai pemikiran, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan sehari-hari. Dalam konteks global yang seringkali dipisahkan oleh perbedaan, imbauan ini adalah contoh yang mengharukan dari bagaimana sebuah daerah dapat menunjukkan kepemimpinan dalam hal tanggung jawab sosial.
Kita juga tidak boleh melupakan konteks geografis dan sejarah Sumatera Selatan, yang seringkali terkena dampak bencana alam seperti banjir, longsor, atau gempa bumi. Sejarah ini telah membentuk identitas masyarakat Sumsel sebagai masyarakat yang tangguh dan saling membantu—dan imbauan Deru adalah upaya untuk mempertahankan dan memperkuat nilai-nilai ini. Dalam kerangka antropologi, hal ini dapat dilihat sebagai upaya untuk memelihara “budaya kebersamaan” yang telah ada selama berabad-abad—menunjukkan bahwa meskipun masyarakat berkembang, nilai-nilai intinya tetap sama. Tahun Baru, dalam konteks ini, bukan hanya kesempatan untuk memulai hal baru, tetapi juga kesempatan untuk merenungkan sejarah dan memastikan bahwa nilai-nilai yang telah membuat masyarakat kuat tetap terjaga.
Selanjutnya, imbauan ini juga memiliki implikasi untuk hubungan antara masyarakat dan pemerintah. Dengan mengeluarkan imbauan ini, Deru menunjukkan bahwa pemerintah tidak hanya bertugas mengatur urusan administrasi, tetapi juga bertugas membimbing masyarakat ke arah arah yang benar. Ini adalah konsep kepemimpinan yang lebih luas—yang melihat pemerintah sebagai agen pembangunan moral, bukan hanya pembangunan ekonomi. Dalam teori demokrasi, hal ini adalah contoh dari bagaimana kepemimpinan dapat berperan sebagai “pemimpin moral”—menyajikan visi yang sesuai dengan nilai-nilai masyarakat dan membujuk mereka untuk mengikutinya. Imbauan Deru adalah bukti bahwa dalam situasi krisis, pemerintah dapat berperan sebagai penghubung antara individu dan masyarakat, membangun rasa kebersamaan yang diperlukan untuk pulih.
Kita juga harus mempertimbangkan dampak jangka panjang dari imbauan ini. Jika masyarakat Sumsel menyambut Tahun Baru 2026 dengan penuh empati dan simpati, hal ini dapat membentuk kebiasaan dan norma untuk tahun-tahun mendatang. Perayaan Tahun Baru dapat menjadi simbol dari kebersamaan dan tanggung jawab sosial—tempat di mana masyarakat berkumpul untuk merenungkan masa lalu, berdoa untuk masa depan, dan membantu mereka yang membutuhkannya. Ini adalah perubahan yang signifikan dalam budaya perayaan—yang dapat memiliki dampak pada kehidupan sosial, budaya, dan bahkan ekonomi Sumsel. Dalam jangka panjang, hal ini dapat membantu membangun masyarakat yang lebih kohesif dan berdikari—yang mampu menghadapi tantangan masa depan dengan lebih kuat dan lebih berhati-hati.
Terakhir, imbauan Gubernur Herman Deru adalah panggilan untuk kita semua untuk mendalamkan pemahaman tentang apa artinya menjadi bagian dari masyarakat. Ia mengajak kita untuk melihat diri kita bukan hanya sebagai individu yang mengejar kepentingan pribadi, tetapi sebagai bagian dari kolektif yang memiliki tanggung jawab satu sama lain. Dalam konteks yang lebih luas, imbauan ini adalah contoh dari bagaimana kemanusiaan dapat menemukan makna keberadaannya melalui kebersamaan dan empati—bahwa kebahagiaan yang sebenarnya tidak datang dari kemeriahan semata, tetapi dari kemampuan untuk berbagi dan membantu sesama. Ini adalah pesan yang sangat relevan di era di mana perbedaan seringkali memecah belah masyarakat—menunjukkan bahwa rasa perhatian sesama adalah ikatan yang paling kuat yang dapat kita miliki.
Kesimpulannya, imbauan Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru untuk menyambut Tahun Baru 2026 dengan penuh empati dan simpati pascabencana adalah narasi etis yang kuat dan mendalam—yang menantang kebiasaan kita, mengajak kita untuk merenungkan makna perayaan, dan membujuk kita untuk membangun masyarakat yang lebih baik. Ini adalah contoh dari kepemimpinan yang transformasional—yang melihat krisis sebagai kesempatan untuk membenarkan nilai-nilai inti masyarakat dan membangun masa depan yang lebih bermakna. Dalam konteks pascabencana, imbauan ini adalah cahaya di tengah kegelapan—menunjukkan bahwa meskipun kita telah mengalami penderitaan, kita masih dapat berharap pada masa depan yang lebih baik, asalkan kita melakukan itu bersama, dengan hati yang penuh empati dan simpati.



