![]()

Opini: Daeng Supriyanto SH MH
Kabid Humas KONI Sumsel
Dalam lanskap olahraga nasional yang seringkali didominasi oleh narasi tentang sistem pelatihan nasional (platnas) sebagai satu-satunya jalur menuju prestasi internasional, muncul kasus-kasus luar biasa yang menantang premis tersebut – salah satunya adalah keberhasilan Indra Hadinata, atlet sky air dari Sumatera Selatan yang tidak hanya tidak terdaftar sebagai atlet pelatnas, tetapi juga menyediakan sendiri biaya dan program pelatihannya sebelum akhirnya meraih medali emas di ajang yang diikuti. Dalam konteks ini, pertanyaan yang muncul bukanlah sekadar apakah presiden boleh mengapresiasi atlet semacamnya, melainkan apakah presiden seharusnya mengapresiasinya sebagai bentuk kewajiban yang terlahir dari kesadaran akan keragaman jalur prestasi, nilai-nilai kemandirian, dan kontribusi yang tak terduga terhadap citra nasional di panggung internasional. Tidaklah berlebihan jika kita menyatakan bahwa mengabaikan atlet mandiri seperti Indra Hadinata adalah bentuk reduksiasi kognitif yang gagal memahami kompleksitas realitas pengembangan bakat olahraga yang melampaui batasan sistem yang dibangun oleh negara.
Pertama-tama, kita perlu memahami dengan mendalam konsep “atlet mandiri” sebagai fenomena yang mengandung dimensi filosofis dan sosiologis yang kaya. Atlet mandiri tidak hanya merupakan individu yang bekerja sendirian, tetapi juga sosok yang menciptakan jalur sendiri dalam lingkungan yang seringkali tidak kondusif atau bahkan menolak. Mereka memecahkan rantai ketergantungan pada sumber daya yang disediakan oleh negara, menggantinya dengan dedikasi pribadi, kejeniusan dalam mencari solusi, dan kemampuan untuk membangun jaringan dukungan yang mandiri. Dalam kasus Indra Hadinata, proses pelatihannya yang tidak masuk platnas dan biaya yang ditanggung sendiri adalah bukti konkret dari keberanian untuk menantang status quo – sebuah tindakan yang tidak hanya membutuhkan keuletan fisik, tetapi juga kebijaksanaan intelektual untuk merancang program pelatihan yang efektif tanpa bimbingan dari lembaga resmi. Ini adalah bentuk agency yang murni, di mana individu menguasai nasibnya sendiri dalam mengejar tujuan yang tampak mustahil bagi banyak orang.
Lebih jauh lagi, keberhasilan atlet mandiri seperti Indra Hadinata menawarkan wawasan epistemologis tentang batasan dan potensi sistem pelatihan nasional. Sistem platnas, meskipun memiliki peran penting dalam mengembangkan atlet skala besar, seringkali memiliki keterbatasan dalam mengidentifikasi dan memfasilitasi bakat yang tidak sesuai dengan pola atau cabor yang diutamakan. Mereka beroperasi berdasarkan kerangka kebijakan yang telah ditetapkan, yang terkadang kurang fleksibel untuk menyesuaikan diri dengan keunikan setiap atlet atau cabor yang masih dalam tahap pengembangan. Atlet mandiri, sebaliknya, beroperasi di luar kerangka tersebut – mereka dapat menyesuaikan program pelatihan dengan kebutuhan pribadi, mengeksplorasi metode yang belum teruji, dan bekerja dengan kecepatan yang sesuai dengan perkembangan bakat mereka. Keberhasilan mereka menunjukkan bahwa prestasi olahraga tidak hanya dapat dicapai melalui jalur resmi, tetapi juga melalui jalur yang mandiri dan inovatif – sebuah realitas yang harus diakui dan dihargai oleh kepemimpinan negara.
Kita juga perlu mempertimbangkan aspek simbolis yang terkandung dalam apresiasi presiden terhadap atlet mandiri. Sebagai kepala negara, presiden memiliki kekuatan untuk membentuk narasi nasional tentang keberhasilan, kemandirian, dan prestasi. Dengan mengapresiasi Indra Hadinata dan atlet mandiri lainnya, presiden tidak hanya mengakui prestasi individu mereka, tetapi juga menanamkan nilai-nilai penting seperti kerja keras, keberanian, dan inovasi di kalangan masyarakat. Ini adalah sinyal yang jelas bahwa negara menghargai bukan hanya mereka yang berjalan di jalur yang telah disiapkan, tetapi juga mereka yang berani menciptakan jalur sendiri. Hal ini dapat memiliki dampak transformatif pada generasi muda, mendorong mereka untuk mengejar impian mereka tanpa takut pada hambatan atau keterbatasan yang diberikan oleh sistem. Sebaliknya, mengabaikan atlet mandiri berpotensi menciptakan persepsi bahwa hanya mereka yang tergabung dalam sistem resmi yang layak mendapatkan pengakuan, yang pada gilirannya akan membatasi kreativitas dan inovasi di dunia olahraga nasional.
Selain itu, ada aspek kebijakan yang penting terkait dengan apresiasi terhadap atlet mandiri. Keberhasilan mereka seringkali terjadi karena kekurangan perhatian atau dukungan dari lembaga resmi, yang berarti mereka telah mengatasi tantangan yang jauh lebih besar daripada atlet pelatnas. Ketika mereka meraih medali emas, mereka tidak hanya membanggakan diri sendiri dan daerah asal mereka, tetapi juga memberikan kontribusi pada citra nasional di panggung internasional yang sama seperti atlet pelatnas. Oleh karena itu, memberikan apresiasi yang setara kepada mereka adalah bentuk keadilan distributif yang sesuai dengan prinsip bahwa setiap orang yang berkontribusi pada prestasi nasional berhak mendapatkan pengakuan yang layak. Selain itu, apresiasi presiden juga dapat membuka jalan untuk kebijakan yang lebih inklusif di masa depan – seperti menyediakan dukungan keuangan, fasilitas, atau pelatihan bagi atlet mandiri yang menunjukkan potensi besar – yang pada gilirannya akan memperkaya ekosistem olahraga nasional dan meningkatkan peluang meraih prestasi di ajang internasional.
Kita juga tidak boleh melupakan kontribusi atlet mandiri dalam mempromosikan cabor-cabor yang kurang populer atau masih dalam tahap pengembangan. Dalam kasus Indra Hadinata, sky air adalah cabor yang belum banyak dikenal oleh masyarakat luas di Indonesia, dan keberhasilan dia telah membantu meningkatkan kesadaran tentang cabor tersebut. Ini adalah bentuk kontribusi yang tak terukur, karena ia tidak hanya menambahkan medali pada koleksi nasional, tetapi juga menciptakan minat baru pada cabor yang potensial untuk mengasilkan lebih banyak atlet berbakat di masa depan. Atlet mandiri seringkali menjadi pelopor dalam mengembangkan cabor-cabor baru, karena mereka tidak terbatas oleh kebijakan atau prioritas lembaga resmi yang cenderung fokus pada cabor yang sudah mapan dan berpotensi meraih medali. Dengan mengapresiasi mereka, presiden dapat mendorong pengembangan keragaman cabor olahraga nasional, yang pada gilirannya akan membuat olahraga nasional lebih sehat dan berkelanjutan.
Dalam konteks khusus Indra Hadinata sebagai atlet dari Sumatera Selatan, apresiasi presiden juga memiliki dimensi regional yang penting. Indonesia adalah negara yang besar dan beragam, dengan potensi bakat olahraga yang tersebar di seluruh wilayah. Namun, seringkali ada kecenderungan untuk memusatkan perhatian dan sumber daya di daerah-daerah utama, yang membuat bakat di daerah pedalaman atau luar Jawa sulit untuk terwujud. Keberhasilan Indra Hadinata sebagai atlet dari Sumatera Selatan menunjukkan bahwa potensi bakat tidak terbatas pada daerah-daerah tertentu, dan bahwa negara harus memiliki pandangan yang lebih luas dalam mengidentifikasi dan memfasilitasi atlet berbakat. Dengan mengapresiasi dia, presiden dapat memberikan sinyal bahwa negara menghargai kontribusi dari semua daerah, dan bahwa setiap orang, tanpa memandang tempat tinggalnya, berhak mendapatkan kesempatan untuk mengejar prestasi olahraga.
Kesimpulannya, apresiasi presiden terhadap atlet mandiri seperti Indra Hadinata bukanlah sekadar tindakan sopan atau simbolis, tetapi sebuah kewajiban yang terlahir dari kesadaran akan keragaman jalur prestasi, nilai-nilai kemandirian, dan kontribusi yang tak terduga terhadap citra nasional. Atlet mandiri menawarkan wawasan berharga tentang batasan dan potensi sistem pelatihan nasional, serta memberikan contoh keberhasilan yang dapat menginspirasi generasi muda. Dengan mengakui mereka, presiden tidak hanya melakukan hal yang adil dan sesuai dengan realitas, tetapi juga membangun dasar untuk pengembangan olahraga nasional yang lebih inklusif, inovatif, dan berkelanjutan. Hanya dengan cara ini kita dapat memastikan bahwa semua bakat olahraga di Indonesia memiliki kesempatan untuk terwujud, baik melalui jalur resmi maupun jalur yang mandiri.




