![]()

Opini Daeng Supriyanto SH MH
Kabid Humas KONI Sumsel
Di tengah semarak industri olahraga yang terus berkembang menjadi sektor ekonomi dan budaya yang mendominasi, kita ditantang untuk memahami bahwa kejayaan seorang atlet tidaklah hanya terukur dari medali yang diraih pada puncak usia produktifnya, melainkan juga dari kemampuannya untuk menavigasi transisi menuju kehidupan pasca-pensiun dengan keberlanjutan dan martabat. Perspektif ini tidak hanya bersifat praktis, melainkan juga mengandung dimensi intelektual yang mendalam: bagaimana kita membangun ekosistem olahraga yang tidak hanya memaksimalkan performa fisik di masa kini, tetapi juga mengembangkan kapasitas kognitif, emosional, dan finansial yang menjadi pondasi bagi kebahagiaan jangka panjang.
Ketika kita berbicara tentang “usia emas” atlet, kita tidak hanya merujuk pada periode dimana fisik mereka mencapai puncak potensi, melainkan juga masa di mana keseimbangan antara latihan intensif, pemeliharaan kesehatan, dan pengelolaan stres menjadi krusial. Dari sudut pandang sosiologis, atlet di usia emas berada di posisi yang kontradiktif: mereka adalah figur publik yang dihormati, namun juga individu yang rentan terhadap tekanan eksternal dan internal yang bisa merusak kesejahteraan mereka. Di sinilah kerangka kerja Long-Term Athletes Development (LTAD) yang dikemukakan Sadik Algadri dan para ahli dalam seminar di Universitas Indonesia muncul sebagai konstruksi intelektual yang brilian. LTAD tidak hanya membagi perjalanan atlet menjadi tahapan usia yang terstruktur—dari Tahap Pengenalan yang berfokus pada kesenangan dan keterampilan dasar hingga Tahap Puncak yang ditujukan untuk meraih kemenangan—tetapi juga memasukkan dimensi keberlanjutan sejak tahap awal. Dengan memperkenalkan konsep multi-skills dan multi-sport pada usia 6-12 tahun, LTAD membentuk atlet yang tidak hanya mahir di satu cabang olahraga, tetapi juga memiliki kemampuan adaptif yang akan berguna ketika mereka harus beralih ke bidang lain setelah pensiun.
Namun, keberhasilan di usia emas tidak cukup tanpa persiapan untuk masa depan. Masalah yang paling krusial dan seringkali terabaikan adalah edukasi keuangan dan pengelolaan karier bagi atlet. Di Indonesia, kita sering mendengar cerita menyedihkan tentang atlet berprestasi yang terpuruk di masa tuanya karena kurangnya pengetahuan tentang bagaimana mengelola penghasilan yang didapatkan di masa emas. Ini adalah bukti bahwa sistem pembinaan olahraga kita masih terfokus terlalu banyak pada aspek fisik dan prestasi jangka pendek, tanpa memasukkan komponen intelektual yang mendasar: memahami ekonomi, investasi, dan perencanaan keuangan. Dari sudut pandang ekonomi olahraga, atlet adalah aktor ekonomi yang unik—mereka memiliki penghasilan yang seringkali tidak stabil dan masa kerja yang pendek—sehingga membutuhkan pendekatan pengelolaan keuangan yang disesuaikan dan diajarkan sejak dini.
Selain itu, pensiun atlet bukanlah akhir dari peran mereka dalam masyarakat, melainkan awal dari babak baru yang penuh potensi. Di sinilah peran institusi seperti KONI, perguruan tinggi, dan praktisi industri menjadi sangat penting. Dengan menyatukan akademisi dan praktisi seperti yang dilakukan dalam seminar “Optimalisasi Diplomasi dan Industri Olahraga Prestasi”, kita menciptakan ruang untuk dialog intelektual yang menghasilkan solusi kolaboratif. Misalnya, atlet yang telah pensiun bisa menjadi pelatih, konsultan olahraga, atau aktor dalam diplomasi olahraga—seolah-olah mereka mengubah kemampuan yang didapatkan di lapangan menjadi modal sosial dan ekonomi yang bermanfaat bagi masyarakat. Ini membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang peran olahraga sebagai alat untuk pembangunan manusia dan diplomasi lunak, sebuah konsep yang semakin mendapatkan perhatian di tingkat global.
Dari sisi psikologis, transisi menuju pensiun bisa menjadi periode yang sulit bagi atlet, karena olahraga telah menjadi bagian tak terpisah dari identitas mereka. Oleh karena itu, sistem pembinaan harus juga menyertakan pendidikan emosional dan kognitif yang membantu atlet membangun identitas yang lebih luas, di luar peran mereka sebagai peserta olahraga. Ini termasuk mempelajari keterampilan komunikasi, kepemimpinan, dan pemecahan masalah yang akan berguna di berbagai bidang pekerjaan. Ketika atlet mampu membangun identitas yang lebih komprehensif, mereka akan lebih siap menghadapi masa pensiun dengan kepercayaan diri dan semangat baru.
Kesimpulannya, menjaga kejayaan atlet di usia emas dan memastikan kestabilitas pasca-pensiun adalah tugas yang kompleks dan membutuhkan pendekatan yang terintegrasi dan intelektual. Ini tidak hanya tentang latihan fisik atau pengelolaan keuangan semata, tetapi juga tentang membangun ekosistem yang mendukung perkembangan manusia yang sepenuhnya. Dengan menerapkan model LTAD yang sistematis, memberikan edukasi keuangan dan keterampilan hidup sejak awal, serta menciptakan ruang untuk kolaborasi antara akademisi, praktisi, dan institusi olahraga, kita bisa menciptakan masa depan di mana atlet tidak hanya meraih kemenangan di lapangan, tetapi juga menjadi manusia yang sehat, produktif, sejahtera, dan bermanfaat bagi masyarakat. Ini adalah tujuan yang tidak hanya layak dicapai, tetapi juga menjadi keharusan bagi Indonesia untuk mencapai impiannya menjadi kekuatan olahraga dunia pada tahun 2045—bukan hanya dengan medali, tetapi dengan menciptakan generasi atlet yang berdaya saing dan berkelanjutan.




