![]()

Opini Naratif: Daeng Supri Yanto SH MH
Pengacara/ Advokat
Gonjang-ganjing yang melanda Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), dengan munculnya surat keputusan rapat harian Syuriyah yang menyatakan KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) tidak lagi berstatus sebagai Ketua Umum, bukan sekadar persoalan internal organisasi, melainkan sebuah fenomena kompleks yang menguji soliditas, mekanisme pengambilan keputusan, dan kepatuhan terhadap regulasi internal di tubuh organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia ini. Polemik ini menuntut analisis mendalam dari perspektif epistemologis (terkait validitas pengetahuan) dan yuridis (terkait keabsahan hukum).
Pernyataan Gus Yahya yang menyebut surat keputusan tersebut “tidak sah” karena berbagai alasan, seperti adanya watermark “draf”, tidak memenuhi standar administrasi PBNU (tidak ditandatangani unsur Syuriah dan Tanfidziyah), serta nomor surat yang tidak dikenal dalam sistem digital PBNU, mengindikasikan adanya permasalahan serius dalam proses pengambilan keputusan dan administrasi organisasi. Pernyataan ini juga mengisyaratkan adanya potensi konflik kepentingan atau ketidaksepahaman di antara para pengurus PBNU.
Di sisi lain, PBNU melalui Katib Tajul Mafakhir membenarkan keberadaan surat edaran tersebut dan menyebutnya sebagai “risalah rapat”. Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan: jika surat tersebut hanya merupakan risalah rapat, mengapa isinya menyatakan Gus Yahya tidak lagi berstatus sebagai Ketua Umum dan tidak lagi memiliki wewenang serta hak atas jabatan tersebut? Apakah ada perbedaan interpretasi atau pemahaman mengenai status dan implikasi risalah rapat di kalangan pengurus PBNU?
Polemik ini juga menguji kepatuhan terhadap Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PBNU, yang seharusnya menjadi landasan hukum dalam setiap pengambilan keputusan organisasi. Apakah prosedur pemberhentian Ketua Umum PBNU telah sesuai dengan ketentuan AD/ART? Apakah ada pelanggaran terhadap mekanisme pengambilan keputusan yang demokratis dan partisipatif?
Dampak dari polemik ini terhadap soliditas PBNU tidak bisa dianggap remeh. Jika tidak diselesaikan secara bijaksana dan transparan, polemik ini dapat memecah belah organisasi dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap PBNU sebagai penjaga tradisi Islam moderat di Indonesia.
Untuk menyelesaikan polemik ini secara konstruktif, beberapa langkah perlu diambil:
1. Dialog Terbuka dan Konstruktif: Seluruh pihak yang terlibat dalam polemik ini perlu duduk bersama untuk melakukan dialog terbuka dan konstruktif, dengan mengedepankan semangat persaudaraan dan kepentingan organisasi di atas kepentingan pribadi atau kelompok.
2. Penegakan AD/ART: PBNU perlu menegakkan AD/ART secara konsisten dan adil, untuk memastikan bahwa setiap pengambilan keputusan organisasi dilakukan sesuai dengan prosedur yang benar dan demokratis.
3. Mediasi Pihak Ketiga: Jika dialog internal tidak membuahkan hasil, PBNU dapat meminta bantuan pihak ketiga yang netral dan dihormati untuk melakukan mediasi dan mencari solusi yang terbaik bagi organisasi.
4. Transparansi dan Akuntabilitas: PBNU perlu memberikan informasi yang transparan dan akuntabel kepada masyarakat mengenai perkembangan polemik ini, untuk menjaga kepercayaan publik dan mencegah terjadinya disinformasi.
Polemik di tubuh PBNU ini merupakan momentum untuk melakukan refleksi dan pembenahan internal. PBNU perlu memperkuat mekanisme pengambilan keputusan yang demokratis dan partisipatif, meningkatkan kualitas administrasi organisasi, serta menegakkan AD/ART secara konsisten. Dengan demikian, PBNU dapat terus menjadi organisasi yang solid, kredibel, dan mampu memberikan kontribusi positif bagi bangsa dan negara.




