![]()

Opini: Daeng Supri Yanto SH MH
Advokat
Dalam kerangka negara hukum yang menjunjung tinggi asas equality before the law, setiap individu memiliki hak yang sama di hadapan hukum, termasuk hak untuk mendapatkan bantuan hukum yang adil dan efektif. Pasal 56 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan manifestasi dari prinsip ini, yang secara eksplisit mengatur kewajiban negara untuk menyediakan penasihat hukum bagi terdakwa yang tidak mampu, terutama dalam kasus-kasus dengan ancaman pidana berat.
Namun, implementasi pasal ini seringkali menemui tantangan interpretatif, khususnya dalam mendefinisikan frasa “tidak mampu”. Artikel yang ditulis oleh M.R. Angkasa Putra, seorang hakim di Pengadilan Negeri Nabire, memberikan perspektif yang mendalam mengenai bagaimana hakim seharusnya menafsirkan dan menerapkan ketentuan ini.
Kesenjangan Interpretasi dan Potensi Ketidakadilan
Penafsiran “tidak mampu” secara sempit, misalnya hanya berdasarkan kepemilikan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), dapat menimbulkan kesenjangan dan potensi ketidakadilan. SKTM, meskipun merupakan indikator ketidakmampuan yang umum digunakan, tidak selalu mencerminkan kondisi finansial yang sebenarnya dari seorang terdakwa. Ada kemungkinan bahwa seseorang yang sebenarnya tidak mampu tidak memiliki SKTM karena berbagai alasan, seperti kurangnya informasi atau kesulitan administratif.
Di sinilah peran aktif hakim menjadi krusial. Sebagai judex facti, hakim tidak hanya bertugas menerima fakta yang disajikan, tetapi juga aktif mencari kebenaran materiil. Dalam konteks ini, hakim harus menggali informasi lebih lanjut mengenai kondisi ekonomi terdakwa, misalnya dengan menanyakan pendapatan bulanan dan membandingkannya dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) setempat.
Pendekatan Holistik dalam Menilai Ketidakmampuan
Pendekatan holistik dalam menilai ketidakmampuan juga berarti mempertimbangkan faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi kemampuan terdakwa untuk membayar penasihat hukum. Misalnya, apakah terdakwa memiliki tanggungan keluarga, memiliki riwayat penyakit kronis yang memerlukan biaya pengobatan, atau tinggal di daerah dengan biaya hidup yang tinggi.
Selain itu, hakim juga perlu mempertimbangkan aksesibilitas terhadap bantuan hukum. Di daerah-daerah terpencil atau dengan sumber daya terbatas, ketersediaan penasihat hukum pro bono mungkin sangat terbatas. Dalam situasi seperti ini, negara memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk memastikan bahwa terdakwa mendapatkan bantuan hukum yang memadai.
Implikasi pada Kualitas Peradilan
Penafsiran yang tepat dan penerapan yang adil dari Pasal 56 KUHAP memiliki implikasi yang signifikan terhadap kualitas peradilan pidana. Ketika terdakwa yang tidak mampu mendapatkan bantuan hukum yang berkualitas, mereka memiliki kesempatan yang lebih baik untuk memahami hak-hak mereka, mengajukan pembelaan yang efektif, dan mendapatkan putusan yang adil. Hal ini pada gilirannya akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan dan memperkuat supremasi hukum.
Sebagai penutup, menafsirkan makna “tidak mampu” bukanlah sekadar persoalan teknis yuridis, tetapi juga persoalan moral dan filosofis. Hakim harus senantiasa berpegang pada prinsip keadilan substantif, yang menekankan pada hasil yang adil dan merata bagi semua pihak. Dengan demikian, penegakan hukum tidak hanya menjadi формальность, tetapi juga menjadi instrumen untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.




