Polemik Sita Eksekusi dalam UU Tipikor: Antara Kepastian Hukum dan Perlindungan Hak Asasi

Loading

Analisis oleh Daeng Supri Yanto SH MH

Advokat/ Pengacara

Artikel Hukumonline.com yang berjudul “Pemerintah Nilai Penetapan PN untuk Sita Eksekusi Bertentangan dengan Asas Hukum Pidana” menyoroti sebuah isu krusial dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi (Tipikor) di Indonesia, yaitu mengenai mekanisme sita eksekusi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Isu sentral dalam artikel ini adalah mengenai tuntutan para Pemohon uji materiil yang menginginkan adanya penetapan Pengadilan Negeri (PN) sebelum jaksa dapat melakukan sita eksekusi uang pengganti. Pemerintah, dalam hal ini diwakili oleh Staf Ahli Bidang Pertimbangan dan Pengembangan Hukum Kejaksaan Agung RI, Katarina Endang Sarwestri, berpendapat bahwa tuntutan tersebut bertentangan dengan asas hukum pidana dan dapat mencampuradukkan ranah perdata dan pidana.

Dalam perspektif hukum pidana, putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) bersifat self-executing, artinya putusan tersebut dapat langsung dilaksanakan tanpa memerlukan penetapan dari pengadilan lain. Hal ini berbeda dengan hukum perdata, di mana eksekusi putusan pengadilan memerlukan executoriale titel atau surat perintah eksekusi dari pengadilan.

Pemerintah berargumen bahwa mekanisme sita eksekusi dalam UU Tipikor telah diatur secara jelas dan tegas, termasuk menyediakan jalur keberatan bagi pihak yang dirugikan serta menjamin perlindungan terhadap hak-hak pihak ketiga yang beritikad baik. Dengan demikian, pemerintah berpendapat bahwa tuntutan para Pemohon tidak beralasan dan dapat menghambat efektivitas penegakan hukum Tipikor.

Namun, di sisi lain, tuntutan para Pemohon juga memiliki dasar argumentasi yang kuat. Kewenangan jaksa untuk melakukan sita eksekusi tanpa penetapan PN dapat menimbulkan potensi penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran hak asasi manusia. Dalam praktiknya, tidak jarang terjadi kasus di mana jaksa melakukan sita eksekusi terhadap aset yang bukan milik terpidana atau melakukan sita eksekusi secara berlebihan.

Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan antara kepentingan penegakan hukum Tipikor yang efektif dan perlindungan hak asasi manusia. Mekanisme sita eksekusi harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran hak asasi manusia, tanpa menghambat efektivitas penegakan hukum Tipikor.

Beberapa solusi yang dapat dipertimbangkan untuk mengatasi dilema ini, antara lain:

1. Penguatan Pengawasan: Pemerintah perlu memperkuat pengawasan terhadap pelaksanaan sita eksekusi oleh jaksa, dengan melibatkan pihak internal dan eksternal yang independen.

2. Peningkatan Transparansi: Pemerintah perlu meningkatkan transparansi dalam proses sita eksekusi, dengan memberikan akses yang mudah bagi masyarakat untuk memperoleh informasi mengenai aset yang disita dan alasan penyitaan.

3. Jaminan Ganti Rugi: Pemerintah perlu memberikan jaminan ganti rugi yang memadai bagi pihak yang dirugikan akibat sita eksekusi yang tidak sah.

4. Peningkatan Kompetensi Jaksa: Pemerintah perlu meningkatkan kompetensi jaksa dalam bidang hukum perdata dan hukum acara, sehingga jaksa lebih memahami hak-hak pihak ketiga dan prosedur sita eksekusi yang benar.

5. Mediasi: Dalam kasus-kasus tertentu, mediasi antara jaksa dan pihak yang dirugikan dapat menjadi solusi yang efektif untuk menyelesaikan sengketa mengenai sita eksekusi.

Sebagai penutup, polemik sita eksekusi dalam UU Tipikor merupakan sebuah contoh klasik mengenai bagaimana penegakan hukum yang efektif dapat berbenturan dengan perlindungan hak asasi manusia. Oleh karena itu, diperlukan kearifan dan kebijaksanaan dari para pembuat kebijakan dan aparat penegak hukum untuk menemukan solusi yang dapat menjamin keseimbangan antara kedua kepentingan tersebut. Hanya dengan demikian, penegakan hukum Tipikor dapat dilakukan secara efektif, adil, dan berkeadilan.

Daeng Supriyanto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Puluhan Jurnalis Resmi Laporkan Dugaan Pelanggaran UU Pers ke Polrestabes Palembang

Rab Nov 19 , 2025
Detiknews.tv – Palembang | Ketegangan antara jurnalis dan pihak tertentu kembali memuncak. Puluhan wartawan online dan televisi mendatangi Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polrestabes Palembang, Rabu (19/11/2025) siang, untuk melaporkan dugaan pelanggaran Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Laporan tersebut dibuat atas insiden yang menimpa salah satu wartawan, Romadon […]

Kategori Berita

BOX REDAKSI