![]()

Opini: Daeng Supri Yanto SH MH
Advokat/Pengacara
Polemik yang menyelimuti pengesahan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru merupakan sebuah refleksi kompleks mengenai tantangan modernisasi hukum pidana di Indonesia. Lebih dari sekadar perdebatan mengenai pasal-pasal tertentu, polemik ini menyentuh isu-isu fundamental mengenai keseimbangan antara kepentingan negara, hak asasi manusia, dan nilai-nilai sosial yang hidup dalam masyarakat.
Dalam perspektif historis, KUHP yang berlaku saat ini merupakan warisan kolonial Belanda yang telah berusia lebih dari satu abad. KUHP tersebut dianggap tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia modern. Oleh karena itu, upaya untuk mengganti KUHP warisan kolonial dengan KUHP yang baru merupakan sebuah keniscayaan sejarah. Namun, proses penggantian tersebut tidaklah mudah, karena KUHP merupakan sebuah kodifikasi hukum yang sangat kompleks dan sensitif, yang menyentuh berbagai aspek kehidupan masyarakat.
KUHAP, sebagai hukum acara pidana, memiliki peran yang sangat penting dalam menjamin tegaknya hukum pidana yang adil dan berkeadilan. KUHAP yang baik harus mampu melindungi hak-hak tersangka/terdakwa, korban, dan saksi, serta menjamin proses peradilan yang transparan, akuntabel, dan efisien. Namun, KUHAP yang berlaku saat ini juga dianggap memiliki banyak kekurangan, seperti proses penyidikan yang berbelit-belit, penegakan hukum yang diskriminatif, dan perlindungan hak asasi manusia yang belum optimal. Oleh karena itu, upaya untuk merevisi KUHAP juga merupakan sebuah kebutuhan yang mendesak.
Polemik yang muncul dalam proses pengesahan KUHP dan KUHAP yang baru disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Kurangnya Partisipasi Publik: Proses penyusunan KUHP dan KUHAP yang baru dianggap kurang melibatkan partisipasi publik yang luas dan inklusif. Masyarakat sipil, akademisi, praktisi hukum, dan kelompok-kelompok rentan merasa tidak didengar aspirasinya dalam proses tersebut.
2. Pasal-Pasal Kontroversial: KUHP dan KUHAP yang baru mengandung beberapa pasal yang dianggap kontroversial dan berpotensi melanggar hak asasi manusia, seperti pasal tentang penghinaan terhadap presiden/lembaga negara, pasal tentang perzinaan, pasal tentang penyebaran berita bohong, dan pasal tentang makar.
3. Ketidakjelasan Rumusan: Beberapa pasal dalam KUHP dan KUHAP yang baru dirumuskan secara tidak jelas dan ambigu, sehingga berpotensi menimbulkan multitafsir dan kesewenang-wenangan dalam penegakan hukum.
4. Ancaman terhadap Kebebasan Berekspresi: KUHP dan KUHAP yang baru dianggap mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat, karena dapat digunakan untuk mengkriminalisasi kritik terhadap pemerintah dan penyelenggara negara.
5. Potensi Kriminalisasi Hukum Adat: Beberapa pasal dalam KUHP yang baru dianggap berpotensi mengkriminalisasi hukum adat dan praktik-praktik budaya yang hidup dalam masyarakat.
Untuk mengatasi polemik ini, diperlukan langkah-langkah yang konstruktif dan dialogis, antara lain:
1. Peninjauan Ulang: Pemerintah dan DPR perlu melakukan peninjauan ulang terhadap KUHP dan KUHAP yang baru, dengan melibatkan partisipasi publik yang luas dan inklusif.
2. Pencabutan Pasal Kontroversial: Pemerintah dan DPR perlu mencabut pasal-pasal yang dianggap kontroversial dan berpotensi melanggar hak asasi manusia, serta merumuskan kembali pasal-pasal yang tidak jelas dan ambigu.
3. Jaminan Kebebasan Berekspresi: Pemerintah dan DPR perlu menjamin kebebasan berekspresi dan berpendapat, serta tidak menggunakan KUHP dan KUHAP yang baru untuk mengkriminalisasi kritik terhadap pemerintah dan penyelenggara negara.
4. Perlindungan Hukum Adat: Pemerintah dan DPR perlu melindungi hukum adat dan praktik-praktik budaya yang hidup dalam masyarakat, serta tidak mengkriminalisasi praktik-praktik tersebut.
5. Sosialisasi dan Edukasi: Pemerintah perlu melakukan sosialisasi dan edukasi yang intensif kepada masyarakat mengenai KUHP dan KUHAP yang baru, serta memberikan pemahaman yang benar mengenai hak dan kewajiban masyarakat dalam sistem hukum pidana.
Sebagai penutup, polemik undang-undang KUHP dan KUHAP yang baru merupakan sebuah momentum penting untuk merefleksikan kembali arah dan tujuan modernisasi hukum pidana di Indonesia. Hukum pidana haruslah menjadi instrumen untuk melindungi hak asasi manusia, menjaga ketertiban sosial, dan mewujudkan keadilan yang substantif. Hukum pidana tidak boleh menjadi alat untuk menindas kebebasan berekspresi, mengkriminalisasi perbedaan pendapat, atau melanggengkan kekuasaan yang otoriter. Dengan semangat dialog dan partisipasi publik yang konstruktif, diharapkan Indonesia dapat memiliki KUHP dan KUHAP yang modern, berkeadilan, dan sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa.




