Krisis Konstitusionalisme dan Impunitas Kekuasaan: Refleksi atas Disregulasi Putusan Mahkamah Konstitusi

Loading

Opini: Daeng Supri Yanto SH MH

Advokat

Artikel yang dipublikasikan oleh Kompas.com pada 17 November 2025, berjudul “Ketika Palu MK Tak Kuasa Melawan Pedang Eksekutif dan Legislatif,” merupakan sebuah diagnosis yang mengkhawatirkan mengenai kondisi konstitusionalisme di Indonesia. Judul tersebut secara metaforis menggambarkan realitas yang pahit, di mana putusan Mahkamah Konstitusi (MK), sebagai the guardian of the constitution, kehilangan daya ikatnya di hadapan kekuatan politik eksekutif dan legislatif.

Fenomena disregulasi putusan MK ini bukan sekadar pelanggaran terhadap prinsip final and binding yang melekat pada putusan tersebut, melainkan juga sebuah manifestasi dari krisis konstitusionalisme yang lebih dalam. Dalam negara hukum (rechtsstaat), putusan pengadilan, termasuk MK, memiliki otoritas yang inheren dan wajib dihormati serta dilaksanakan oleh semua pihak, termasuk penyelenggara negara. Mengabaikan putusan MK berarti meruntuhkan fondasi negara hukum dan membuka pintu bagi praktik kesewenang-wenangan kekuasaan (abuse of power).

Artikel tersebut menyoroti beberapa contoh konkret disregulasi putusan MK, di antaranya adalah:

1. Pengabaian Putusan MK terkait UU Cipta Kerja: Pemerintah dan DPR hanya mengubah UU Nomor 12 Tahun 2011 untuk memasukkan metode omnibus, tanpa melakukan pembahasan ulang sebagaimana diperintahkan oleh MK. Manuver pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) juga dapat ditafsirkan sebagai upaya untuk menghindari perintah MK.

2. Pelanggaran Larangan Rangkap Jabatan Wakil Menteri: Meskipun MK telah menyatakan bahwa wakil menteri dilarang merangkap jabatan, faktanya justru semakin banyak wakil menteri yang merangkap jabatan, bahkan menduduki posisi strategis di BUMN.

Disregulasi putusan MK ini mencerminkan beberapa permasalahan mendasar dalam sistem hukum dan politik Indonesia, yaitu:

1. Lemahnya Kesadaran Konstitusional: Para penyelenggara negara kurang memiliki kesadaran konstitusional yang memadai, sehingga tidak memahami sepenuhnya makna dan implikasi dari putusan MK.

2. Dominasi Kepentingan Politik: Kepentingan politik jangka pendek seringkali mengalahkan pertimbangan hukum dan etika, sehingga putusan MK yang dianggap menghambat kepentingan politik diabaikan.

3. Lemahnya Pengawasan: Mekanisme pengawasan terhadap pelaksanaan putusan MK tidak berjalan efektif, sehingga para pelanggar konstitusi tidak merasa takut untuk mengabaikan putusan tersebut.

4. Budaya Impunitas: Budaya impunitas yang masih kuat di Indonesia menyebabkan para pelanggar konstitusi merasa tidak akan dikenakan sanksi yang setimpal atas perbuatan mereka.

Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan langkah-langkah yang komprehensif dan berkelanjutan, antara lain:

1. Peningkatan Kesadaran Konstitusional: Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait perlu meningkatkan kesadaran konstitusional para penyelenggara negara melalui pendidikan, pelatihan, dan sosialisasi yang intensif.

2. Penguatan Mekanisme Pengawasan: DPR dan lembaga-lembaga pengawas lainnya perlu memperkuat mekanisme pengawasan terhadap pelaksanaan putusan MK, serta memberikan sanksi yang tegas terhadap para pelanggar konstitusi.

3. Penegakan Hukum yang Tegas: Aparat penegak hukum harus menindak tegas para pelanggar konstitusi, tanpa pandang bulu dan tanpa kompromi.

4. Peningkatan Partisipasi Publik: Masyarakat sipil perlu meningkatkan partisipasi dalam mengawasi pelaksanaan putusan MK, serta memberikan tekanan kepada pemerintah dan DPR untuk menghormati dan melaksanakan putusan tersebut.

Sebagai penutup, disregulasi putusan MK merupakan ancaman serius bagi supremasi hukum dan demokrasi di Indonesia. Jika fenomena ini terus berlanjut, maka kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga negara akan semakin menurun, dan pada akhirnya akan mengancam stabilitas dan persatuan bangsa. Oleh karena itu, diperlukan komitmen yang kuat dari semua pihak, terutama para penyelenggara negara, untuk menghormati dan melaksanakan putusan MK sebagai wujud dari ketaatan terhadap konstitusi dan negara hukum.

Daeng Supriyanto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Dilema Modernisasi Hukum Pidana Indonesia: Refleksi Kritis atas Polemik Undang-Undang KUHP dan KUHAP yang Baru

Rab Nov 19 , 2025
Opini: Daeng Supri Yanto SH MH Advokat/Pengacara Polemik yang menyelimuti pengesahan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru merupakan sebuah refleksi kompleks mengenai tantangan modernisasi hukum pidana di Indonesia. Lebih dari sekadar perdebatan mengenai pasal-pasal tertentu, polemik ini menyentuh isu-isu fundamental mengenai […]

Kategori Berita

BOX REDAKSI