“NTB-NTT: Menanti SK Menpora, Membuka Peluang Kolaborasi yang Menggerakkan Pemerataan Olahraga”

Loading

Opini Oleh Daeng Supriyanto SH MH

Ketua BIdang Organisasi Pordasi Sumatera Selatan

Di tengah dinamika yang terus berkembang dalam tata kelola olahraga nasional, momen di mana Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menunggu Surat Keputusan (SK) dari Menteri Olahraga (Menpora) Erick Thohir untuk menjadi tuan rumah Pekan Olahraga Nasional (PON) 2028 bersama Nusa Tenggara Barat (NTB) tidak hanya menjadi sorotan publik, tetapi juga merupakan cerminan dari kompleksitas hubungan antara otoritas pusat dan daerah dalam merumuskan agenda pembangunan olahraga yang inklusif dan berkelanjutan. Fenomena ini tidak dapat dipisahkan dari konteks sejarah PON yang baru saja menorehkan babak baru dengan penyelenggaraan bersama dua provinsi di Aceh dan Sumatera Utara pada tahun 2024, sebuah langkah yang secara paradoks menciptakan harapan baru sekaligus tantangan yang belum teruji dalam tata kelola ajang olahraga multicasual besar skala nasional.

Dari perspektif teoretis, proses penundaan SK ini dapat dilihat sebagai manifestasi dari mekanisme kontrol dan validasi yang beroperasi dalam sistem federalitas yang terkonseptualisasi secara semi-kentralistik di Indonesia. Di satu sisi, hal ini mencerminkan keseriusan pemerintah pusat dalam memastikan bahwa calon tuan rumah memenuhi semua persyaratan yang ditetapkan oleh KONI Pusat, mulai dari kesiapan sarana dan prasarana, sumber daya manusia, hingga rencana keuangan yang realistis – semua yang tercantum dalam Surat Keputusan Ketua KONI Pusat Nomor 28 Tahun 2017. Di sisi lain, penundaan ini juga menimbulkan pertanyaan tentang efisiensi proses keputusan dan dampaknya terhadap kemampuan daerah untuk melakukan persiapan secara maksimal dalam jangka waktu yang terbatas. Sebagaimana ditegaskan oleh Wagub NTB Johni Asadoma, penundaan keputusan ini berpotensi menghambat langkah-langkah awal yang krusial, terutama dalam hal pembangunan dan rehabilitasi venue yang membutuhkan waktu dan investasi besar.

Lebih jauh, kebijakan Wagub NTB yang membuka peluang kolaborasi dengan provinsi lain – khususnya DKI Jakarta, Jawa Barat (Jabar), dan Jawa Timur (Jatim) – dalam penyelenggaraan sebagian cabang olahraga merupakan inovasi yang memiliki dimensi intelektual dan praktis yang mendalam. Dari sudut pandang kebijakan publik, kolaborasi semacam ini dapat dilihat sebagai upaya untuk mengatasi keterbatasan sumber daya yang dihadapi oleh NTB dan NTT, sekaligus memanfaatkan keunggulan infrastruktur yang dimiliki oleh provinsi-provinsi di Pulau Jawa. Konsep ini sejalan dengan teori kolaborasi antar daerah yang menekankan pada pemanfaatan komparatif advantage dan pembagian beban untuk mencapai tujuan bersama yang lebih besar. Dalam konteks PON, hal ini berarti venue-venue yang membutuhkan biaya pembangunan tinggi dan standar teknis yang ketat – seperti untuk cabang olahraga balap mobil, renang selam, atau bulu tangkis – dapat dilaksanakan di provinsi yang sudah memiliki fasilitas yang sesuai, sementara cabang olahraga yang lebih sederhana dapat dihelat di NTB dan NTT untuk mempromosikan pemerataan pembangunan olahraga di wilayah Timur Indonesia.

Namun, kolaborasi semacam ini juga tidak luput dari tantangan yang kompleks. Pertama, terdapat masalah koordinasi dan komunikasi yang harus diatasi antara berbagai pihak – mulai dari panitia pusat, panitia daerah, hingga induk cabang olahraga. Seperti yang dialami oleh Aceh dan Sumatera Utara pada PON 2024, penyebaran venue di beberapa provinsi membutuhkan kesiapan administratif dan teknis yang tinggi untuk memastikan bahwa semua pertandingan berjalan lancar dan sesuai standar. Kedua, terdapat masalah keadilan dan representasi yang harus diperhatikan. Meskipun kolaborasi dapat mengurangi beban keuangan, hal ini juga berpotensi mengurangi kesempatan bagi masyarakat NTB dan NTT untuk merasakan langsung kegembiraan PON dan mendapatkan manfaat ekonomi dari penyelenggaraan ajang tersebut. Ketiga, terdapat risiko bahwa kolaborasi semacam ini dapat menciptakan ketergantungan yang tidak sehat pada provinsi-provinsi di Pulau Jawa, sehingga mengurangi kemampuan NTB dan NTT untuk mengembangkan kapasitas sendiri dalam jangka panjang.

Dari sisi makna simbolis, penentuan NTB dan NTT sebagai tuan rumah PON 2028 memiliki arti yang mendalam bagi pemerataan pembangunan olahraga dan persatuan bangsa. Sebagaimana ditegaskan oleh Wagub NTB, setelah PON diadakan di Aceh-Sumut (Utara), Papua (Timur), dan berbagai provinsi di Pulau Jawa (Barat), sekarang adalah giliran wilayah Selatan untuk mendapatkan kesempatan menjadi tuan rumah. Hal ini tidak hanya merupakan upaya untuk mengatasi kesenjangan pembangunan olahraga antara daerah tengah dan pinggiran, tetapi juga sebagai wujud penghormatan terhadap keragaman budaya dan geografis Indonesia. PON yang diadakan di NTB dan NTT dapat menjadi katalisator untuk mempromosikan pariwisata lokal, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, dan memperkuat tali persaudaraan antar warga negara dari berbagai daerah.

Sebagai kesimpulan, situasi di mana NTB dan NTT menunggu SK Menpora untuk menjadi tuan rumah PON 2028 dan membuka peluang kolaborasi dengan provinsi lain adalah cerminan dari kompleksitas dan dinamika yang ada dalam sistem olahraga nasional Indonesia. Meskipun terdapat tantangan yang harus diatasi, baik dalam hal proses keputusan maupun implementasi kolaborasi, langkah-langkah ini juga merupakan kesempatan untuk menciptakan model penyelenggaraan PON yang lebih inklusif, efisien, dan berkelanjutan. Penting bagi pemerintah pusat dan daerah untuk bekerja sama secara erat, mempertimbangkan semua aspek yang relevan, dan mengambil keputusan yang berdasarkan data dan analisis yang cermat untuk memastikan bahwa PON 2028 dapat memberikan manfaat maksimal bagi seluruh rakyat Indonesia.

Daeng Supriyanto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

KORUPSI CHROMEBOOK, ARENA KEKUASAAN DAN TANTANGAN REFORMASI INSTITUSIONAL

Ming Des 21 , 2025
OPINI: Daeng Supriyanto SH MH Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Perhimpunan Profesi Pengacara Indonesia Provinsi Sumatera Selatan Dalam konteks masyarakat yang semakin terhubung melalui ototekno dan media yang membentuk mozaik narasi publik, kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook periode era Nadiem Makarim muncul sebagai indeks krusial terhadap kesehatan tata kelola di […]

Kategori Berita

BOX REDAKSI