![]()

Opini Daeng Supriyanto SH MH
Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Forum Lestari Sumsel
Potensi denda hingga US$8,5 miliar yang diidentifikasi pemerintah Indonesia untuk tahun 2026 terhadap perusahaan kelapa sawit dan pertambangan yang beroperasi secara ilegal di kawasan hutan merupakan langkah yang signifikan dan mengundang berbagai interpretasi dalam ranah kebijakan publik, ekonomi, dan lingkungan. Dalam kerangka kebijakan negara yang berusaha menegakkan hukum dan melindungi sumber daya alam yang mahal, langkah ini dapat dilihat sebagai wujud komitmen yang tegas untuk mengakhiri praktik-praktik yang merusak lingkungan dan merugikan negara. Namun, di sisi lain, hal ini juga menimbulkan kekhawatiran dan tantangan yang tidak dapat diabaikan, terutama dalam hal dampaknya terhadap industri, perekonomian, dan masyarakat.
Dari perspektif kebijakan publik, identifikasi potensi denda ini merupakan langkah yang penting untuk menegakkan hukum dan memastikan bahwa semua pelaku usaha beroperasi sesuai dengan peraturan yang berlaku. Praktik operasi ilegal di kawasan hutan telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah, termasuk hilangnya keanekaragaman hayati, deforestasi, dan perubahan iklim. Selain itu, hal ini juga merugikan negara melalui kehilangan penerimaan pajak dan royalti yang seharusnya diperoleh dari pemanfaatan sumber daya alam yang sah. Dengan menindak tegas pelaku operasi ilegal, pemerintah berusaha melindungi kepentingan publik dan memastikan bahwa sumber daya alam yang mahal ini digunakan secara berkelanjutan untuk kesejahteraan generasi mendatang.
Dalam konteks ekonomi, potensi denda yang besar ini dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap industri kelapa sawit dan pertambangan, yang merupakan sektor-sektor penting dalam perekonomian Indonesia. Industri kelapa sawit khususnya merupakan salah satu penopang ekspor negara dan menyumbang sejumlah besar terhadap pendapatan devisa dan penciptaan lapangan kerja. Namun, praktik operasi ilegal di kawasan hutan telah merusak citra industri ini di pasar global dan menyebabkan tekanan dari pemerintah dan masyarakat internasional untuk melakukan reformasi. Dengan menindak tegas pelaku operasi ilegal, pemerintah berusaha meningkatkan citra industri dan memastikan bahwa industri ini dapat beroperasi secara berkelanjutan dalam jangka panjang.
Namun, di sisi lain, potensi denda yang besar ini juga menimbulkan kekhawatiran tentang dampaknya terhadap kelangsungan usaha perusahaan-perusahaan yang terkena dampak. Banyak perusahaan yang beroperasi di kawasan hutan mungkin menghadapi kesulitan dalam membayar denda yang besar, terutama jika mereka sedang menghadapi tantangan ekonomi. Hal ini dapat menyebabkan kebangkrutan perusahaan, hilangnya lapangan kerja, dan dampak negatif terhadap perekonomian lokal. Selain itu, potensi denda yang besar ini juga dapat menyebabkan ketidakpastian dan keraguan di antara investor, yang dapat menghambat pertumbuhan dan pengembangan industri.
Selain itu, langkah penertiban besar-besaran yang dilakukan oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan yang melibatkan unsur TNI, Polri, kejaksaan, serta kementerian dan lembaga terkait juga menimbulkan kekhawatiran tentang potensi pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran terhadap hukum. Dalam beberapa kasus, penertiban yang dilakukan oleh aparat keamanan telah menyebabkan kekerasan dan pelanggaran terhadap hak-hak warga masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa penertiban yang dilakukan tanpa proses hukum yang adil dan transparan dapat menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan aparat keamanan.
Dalam konteks lingkungan, meskipun langkah penertiban ini bertujuan untuk melindungi sumber daya alam, ada kekhawatiran bahwa hal ini mungkin tidak cukup untuk mengatasi masalah deforestasi dan kerusakan lingkungan yang parah. Beberapa ahli berpendapat bahwa kebijakan penertiban harus diiringi dengan kebijakan yang lebih komprehensif untuk mempromosikan pengelolaan hutan yang berkelanjutan, seperti pemberdayaan masyarakat lokal, pengembangan ekonomi hijau, dan perlindungan kawasan hutan yang penting. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa penertiban yang dilakukan terhadap perusahaan-perusahaan yang beroperasi secara ilegal di kawasan hutan mungkin hanya akan mendorong mereka untuk bermigrasi ke daerah lain yang kurang terawasi, yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan di daerah tersebut.
Selain itu, potensi penerimaan negara dari denda yang besar ini juga menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana dana ini akan digunakan. Beberapa ahli berpendapat bahwa dana ini harus digunakan untuk membiayai program-program perlindungan lingkungan, pemulihan ekosistem, dan pengembangan ekonomi lokal yang berkelanjutan. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa dana ini mungkin akan digunakan untuk tujuan lain yang tidak terkait dengan perlindungan lingkungan, seperti pembiayaan belanja operasional pemerintah atau proyek-proyek infrastruktur yang tidak berkelanjutan.
Dalam kesimpulan, potensi denda hingga US$8,5 miliar yang diidentifikasi pemerintah Indonesia untuk tahun 2026 terhadap perusahaan kelapa sawit dan pertambangan yang beroperasi secara ilegal di kawasan hutan merupakan langkah yang signifikan dan mengundang berbagai interpretasi. Meskipun langkah ini dapat dilihat sebagai wujud komitmen yang tegas untuk menegakkan hukum dan melindungi sumber daya alam, hal ini juga menimbulkan kekhawatiran dan tantangan yang tidak dapat diabaikan. Untuk memastikan bahwa langkah ini mencapai tujuannya yang diinginkan, penting bagi pemerintah untuk mempertimbangkan dampak yang luas dari kebijakan ini dan mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mengatasi kekhawatiran dan tantangan yang muncul. Selain itu, penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa proses penertiban dilakukan secara adil, transparan, dan sesuai dengan hukum, serta bahwa dana yang diperoleh dari denda digunakan untuk tujuan yang sesuai dengan kepentingan publik dan perlindungan lingkungan.




